Sabtu, 10 November 2012

JAQUES DERRIDA (DEKONSTRUKSI)

BY: YES


A.    PENGANTAR
Derrida yang mempunyai nama lengkap Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar. Pada 1952, Derrida resmi belajar di École Normal Supériuere, sekolah elite yang dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf garda depan Prancis. Selain di École Normal Supériuere, dia menyem­patkan diri belajar tentang sastra modern, marxisme dan psikoanalisis. Setelah meraih gelar kesarja­naannya yang pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl Archi­ve. Pada 1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Empat tahun kemudian, sejak 1964 sampai dengan 1984, Derrida mengajar di École Normal Supériuere.
B.     PEMIKIRAN DERRIDA TENTANG TEORI DEKONSTRUKSI
Kajian Derrida yang dikenal adalah teori dekonstruksi. Menurut Derrida, pemaknaan merupakan suatu proses dengan cara membongkar dan menga­nalisis secara kritis hal yang dimaknai. Proses pemahaman makna tidak hanya karena ada proses oposisi atau diferensiasi (difference), tetapi karena ada proses ‘penundaan’ hubungan antara penanda dan petanda untuk menemukan makna yang baru. Proses penundaan hubungan inilah yang disebut Derrida sebagai proses dekonstruksi.
Pemikiran Derrida mengenai dekonstruksi didasarkan pada  pemikiran Heidegger yang menunjukan bahwa bagaimana Dekonstruksi itu muncul. Dimana menurut Heidegger dekonstruksi muncul dari dua kata yakni deconstruction dan abbau yang diterjemahkan dari bahasa Jerman serta menggambarkan suatu bentuk yang kontra dari pemikiran Hegel mengenai Roh yang asumsinya identik dengan pemikiran yang umum. Ciri demikian memunculkan kegagalan untuk menyelami “ada” dengan pemikiran yang baik. Arah pemikiran yang kontra demikian tidak menyulut Heidegger untuk lebih merinci niatnya dalam memberi kejelasan mengenai argumentasi tentang “ada” melalui proses dekonstruksi, Ia memberi argumentasi yang memberi arah pemikiran yang merujuk penyelesaian pada pemikiran Hegel, bahwa kita tumbuh dari tradisi dan tidak dapat begitu saja memisahkan diri darinya. Untuk bisa menyalaminya maka tugas kita adalah melonggarkan struktur-strukturnya sehingga kita dapat mengujinya secara seksama dan kemudia merumuskan kembali persoalan mengenai “ada” itu dengan lebih tepat.
Dekonstruksi dipahami sebagai sebuah metode pembacaan untuk memahami sebuah teks secara lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat. Dekonstruksi dimaksudkan seba­gai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Dengan demikian, dekonstruksi atau pembacaan dekonstruktif tidak menghancurkan makna sebuah teks, tetapi menghancurkan klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar daripada pemaknaan lain yang berbeda. Proses dekonstruksi yang demikian mengandung makna yang lebih besar bagi Derrida bahwa bahwa konotasi linguistic dan mekanis tersebut dapat mengandung makna. Dimana diskursus yang berkembang saat itu di Prancis adalah proses pemikiran yang mengarah pada strukturalis yang sumber gagasannya adalah linguistic. Oleh karena itu proses penekanan yang dominan dari Derrida adalah watak strukturalisme lebih pada Metafisik. Kekuatan gaya analisis demikian dapat memberikan gambaran implisit mengenai kontra produktif dari arus pemikiran yang berbeda yakni pemikiran strukturalis dan pemikiran dekonsrtuktif mengenai “ada”.
Uraian Derrida berlanjut ketika aliran strukturalisme tidak mencapai bahasan mengenai “strukturalisme struktur”. Derrida membawa pemikiran baru mengenai struktur dimana gambaran pusat pemikiran yang paradox “senantiasa dipikirkan” dan bersifat unik. Implikasi dari struktur ini bahwa paradoksal pusat berada didalam struktur dan sekaligus diluarnya. Maka bisa dibayangkan bahwa pemikiran tradisional, pusat bisa digunakan untuk mendasarkan struktur-struktur. Namun jika kita dihayati prinsip pendasaran demikian hanyalah ilusi. Sehingga Derrida  memberikan solusi bahwa penyepakatan perlu dilakukan untuk memaknai analisis mengenai struktur, bahwa tidak ada batas teoritis bagi signifikasi.
Arah pemikiran lain dari Derrida adalah tentang strukturalisme, yang memberikan asumsi bahwa para pemikir aliran modern seperti Levinas dkk telah memisahkan diri dari tradisi metafisika namun mereka mengukuhkan diri pada taraf yang mendalam. Agar dapat memahami arah pemikirannnya maka Derrida membandingkan pemikirannya dengan aliran strukturalis dimana pemikiran strukturalis   telah mengklaim bahwa mereka telah menemukan jalan keluar dari pemikiran statis mengenai struktur. Jadi sementara Derrida berpendapat bahwa hanya ada satu macammetafisika yang mengikuti Heidegger, ia sebut “metafisika kehadiran”.
Demikian terdapat dua interprestasi atas interprestasi yang bisa dijadikan dasar pijakan dari pendapat Derrida diatas yakni pemaparan semacam impian mengenai suatu kebenaran atau asal usul yang bisa dikatakan sebagai interprestasi metafisik. Dan yang kedua permainan yang berupaya melampaui manusia dan humanis atau interprestasi non-metafisik. Kedua interprestasi diatas menurut Derrida tidak dapat dinilai benar atau salah melainkan kuat atau lemah. Lebih rinci dicontohkan oleh Derrida bahwa ketika seorang membaca suatu teks maka akan memasuki suatu wilayah konflik antara kekuatan-kekuatan yang telah mendahului subjektifitas pembaca.
Berbeda dengan pemikiran para filsuf perancis generasi sebelumnya Derrida justru lebih meminati gagasan mengenai yang lain (the other) yang lebih menekankan pada subjektifitas yang selalu sudah dan telah tersurat dalam bahasa dimana subjektifitas tak terkesampingkan dalam menganalis yang lain dalam konteks membaca dan memahami suatu bacaan. Karena menurutnya subjektifitas memiliki nilai dan kekuatan yang seharusnya dimaknai secara seksama untuk menyalami maksud dari pengarang.
Pada point ini kita diingatkan untuk selalu analitik terhadap proses membaca yang selalu tersiratkan mengenai sesuatu yang lain. Pada titik inilah dekonstruksi belaku dan apa yang mengilhami Derrida dalam teori dekonstruksinya bisa logis dalam pemahaman kita. Artinya bahwa dalam proses memahami suatu bacaan selalu ada aspek lain yang terabaikan atau tereduksi dalam makna konotasi yang miris. Intinya dalam dekonstruksinya Derrida mengenai proses memahami suatu bacaan, sesuatu “yang lain” (otherness) tentu berbeda dalam setiap kasus yang bisa diinterpresasikan dalam sebuah kasus politik maupun kelas gender.
Pada sisi yang lain Derrida  menyebutnya kedalam ilusi pikiran dan menuju pada sesuatu yang ia identikan dengan non-situs pada perbedaan (difference). Hal ini dimaksudkan untuk bagaimana kita menemukan jalan masuk pada “non-situs” yang betapapun rumitnya Derrida berusaha mencari batas-batas lain yang bisa dimaknai dalam diskursus filsafat yang terbantahkan oleh alur pemikiran Plato atau Austin yang lebih meremehkan tulisan dan Kant yang lebih tertarik pada pembahasan mengenai bingkai lukisan.
Derrida lebih memilih untuk menonjolkan kesastraan dan seni yang menyediakan lorong-lorong yang berliku menuju “non-situs”. Misalkan Derrida lebih tertarik pada nama asli dan tanda tangan dari pengarang setelah membaca puisi prosaic Francis Ponge yang dijadikan dasar atau arah baginya dalam menyalami sebuah karya sastra yang dapat menggambarkan sesuatu yang lain.
Alur pemikiran Derrida lebih menonjolkan suatu per-bedaan (difference) dimana dapat dipahami dari dua tahap yakni pemahaman akan suatu tulisan sebagai perbedaan dari tuturan karena proses memahami yang berlangsung secara bersamaan dan pengelakan diri dari pemahaman yang utuh. Demikianlah bahw a bukan karena kepadatan semantic  dan beragamnya sintaktik melainkan karena konseptual dan keterbatasan linguistik semata. Konsep per-bedaan (differen) dan penundaan (deferal) menurut Derrida menyajikan  keharusan bagi dimungkinkannya sebuat tulisan atau tuturan. Jadi perberdaan (differen) berlangsung pada pada taraf fenomenal dan taraf transedental yang merupakan keharusan bagi dimungkinkannya setiap komunikasi baik lisan maupun tertulis.
C.    SIMPULAN
Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”. Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas. Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam pemikiran Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti "untuk menunda"-sinonim dengan kata men-dekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida, yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi
yosefhatininu.blogspot.com