A.
PENGANTAR
Derrida yang mempunyai nama lengkap
Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar. Pada
1952, Derrida resmi belajar di École Normal Supériuere, sekolah elite yang
dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf garda depan
Prancis. Selain di École Normal Supériuere, dia menyempatkan diri belajar tentang sastra modern, marxisme dan psikoanalisis. Setelah
meraih gelar kesarjanaannya yang pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl
Archive. Pada 1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas
Sorbonne. Empat tahun kemudian, sejak 1964 sampai dengan 1984, Derrida mengajar
di École Normal Supériuere.
B.
PEMIKIRAN DERRIDA TENTANG TEORI DEKONSTRUKSI
Kajian Derrida yang dikenal adalah teori dekonstruksi. Menurut Derrida,
pemaknaan merupakan suatu proses dengan cara membongkar dan menganalisis
secara kritis hal yang dimaknai. Proses pemahaman makna tidak hanya karena ada
proses oposisi atau diferensiasi (difference), tetapi karena ada proses
‘penundaan’ hubungan antara penanda dan petanda untuk menemukan makna yang
baru. Proses penundaan hubungan inilah yang disebut Derrida sebagai proses
dekonstruksi.
Pemikiran Derrida mengenai dekonstruksi didasarkan pada pemikiran Heidegger yang menunjukan bahwa
bagaimana Dekonstruksi itu muncul. Dimana menurut Heidegger dekonstruksi muncul
dari dua kata yakni deconstruction dan abbau yang diterjemahkan dari bahasa Jerman
serta menggambarkan suatu bentuk yang kontra dari pemikiran Hegel mengenai Roh
yang asumsinya identik dengan pemikiran yang umum. Ciri demikian memunculkan
kegagalan untuk menyelami “ada” dengan pemikiran yang baik. Arah pemikiran yang
kontra demikian tidak menyulut Heidegger untuk lebih merinci niatnya dalam
memberi kejelasan mengenai argumentasi tentang “ada” melalui proses
dekonstruksi, Ia memberi argumentasi yang memberi arah pemikiran yang merujuk
penyelesaian pada pemikiran Hegel, bahwa kita tumbuh dari tradisi dan tidak
dapat begitu saja memisahkan diri darinya. Untuk bisa menyalaminya maka tugas
kita adalah melonggarkan struktur-strukturnya sehingga kita dapat mengujinya
secara seksama dan kemudia merumuskan kembali persoalan mengenai “ada” itu
dengan lebih tepat.
Dekonstruksi dipahami sebagai sebuah
metode pembacaan untuk memahami sebuah teks secara lebih mandiri, tanpa
didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat. Dekonstruksi
dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks
daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan
dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam
teks. Dengan demikian, dekonstruksi atau pembacaan dekonstruktif tidak
menghancurkan makna sebuah teks, tetapi menghancurkan klaim bahwa satu bentuk
pemaknaan terhadap teks lebih benar daripada pemaknaan lain yang berbeda. Proses dekonstruksi yang demikian mengandung makna yang lebih besar bagi Derrida
bahwa bahwa konotasi linguistic dan mekanis tersebut dapat mengandung makna.
Dimana diskursus yang berkembang saat itu di Prancis adalah proses pemikiran
yang mengarah pada strukturalis yang sumber gagasannya adalah linguistic. Oleh
karena itu proses penekanan yang dominan dari Derrida adalah watak
strukturalisme lebih pada Metafisik. Kekuatan gaya analisis demikian dapat
memberikan gambaran implisit mengenai kontra produktif dari arus pemikiran yang
berbeda yakni pemikiran strukturalis dan pemikiran dekonsrtuktif mengenai
“ada”.
Uraian Derrida berlanjut ketika aliran strukturalisme tidak mencapai
bahasan mengenai “strukturalisme struktur”. Derrida membawa pemikiran baru
mengenai struktur dimana gambaran pusat pemikiran yang paradox “senantiasa
dipikirkan” dan bersifat unik. Implikasi dari struktur ini bahwa paradoksal
pusat berada didalam struktur dan sekaligus diluarnya. Maka bisa dibayangkan
bahwa pemikiran tradisional, pusat bisa digunakan untuk mendasarkan
struktur-struktur. Namun jika kita dihayati prinsip pendasaran demikian
hanyalah ilusi. Sehingga Derrida memberikan solusi bahwa penyepakatan perlu
dilakukan untuk memaknai analisis mengenai struktur, bahwa tidak ada batas
teoritis bagi signifikasi.
Arah pemikiran lain dari Derrida adalah tentang strukturalisme, yang
memberikan asumsi bahwa para pemikir aliran modern seperti Levinas dkk telah
memisahkan diri dari tradisi metafisika namun mereka mengukuhkan diri pada
taraf yang mendalam. Agar dapat memahami arah pemikirannnya maka Derrida membandingkan
pemikirannya dengan aliran strukturalis dimana pemikiran strukturalis telah
mengklaim bahwa mereka telah menemukan jalan keluar dari pemikiran statis
mengenai struktur. Jadi sementara Derrida berpendapat bahwa hanya ada satu
macammetafisika yang mengikuti Heidegger, ia sebut “metafisika kehadiran”.
Demikian terdapat dua interprestasi atas interprestasi yang bisa dijadikan
dasar pijakan dari pendapat Derrida diatas yakni pemaparan semacam impian
mengenai suatu kebenaran atau asal usul yang bisa dikatakan sebagai
interprestasi metafisik. Dan yang kedua permainan yang berupaya melampaui
manusia dan humanis atau interprestasi non-metafisik. Kedua interprestasi
diatas menurut Derrida tidak dapat dinilai benar atau salah melainkan kuat atau
lemah. Lebih rinci dicontohkan oleh Derrida bahwa ketika seorang membaca suatu
teks maka akan memasuki suatu wilayah konflik antara kekuatan-kekuatan yang
telah mendahului subjektifitas pembaca.
Berbeda dengan pemikiran para filsuf perancis generasi sebelumnya Derrida
justru lebih meminati gagasan mengenai yang lain (the other) yang lebih
menekankan pada subjektifitas yang selalu sudah dan telah tersurat dalam bahasa
dimana subjektifitas tak terkesampingkan dalam menganalis yang lain dalam
konteks membaca dan memahami suatu bacaan. Karena menurutnya subjektifitas
memiliki nilai dan kekuatan yang seharusnya dimaknai secara seksama untuk
menyalami maksud dari pengarang.
Pada point ini kita diingatkan untuk selalu analitik terhadap proses
membaca yang selalu tersiratkan mengenai sesuatu yang lain. Pada titik inilah
dekonstruksi belaku dan apa yang mengilhami Derrida dalam teori dekonstruksinya
bisa logis dalam pemahaman kita. Artinya bahwa dalam proses memahami suatu
bacaan selalu ada aspek lain yang terabaikan atau tereduksi dalam makna
konotasi yang miris. Intinya dalam dekonstruksinya Derrida mengenai proses
memahami suatu bacaan, sesuatu “yang lain” (otherness) tentu berbeda dalam
setiap kasus yang bisa diinterpresasikan dalam sebuah kasus politik maupun
kelas gender.
Pada sisi yang lain Derrida
menyebutnya kedalam ilusi pikiran dan menuju pada sesuatu yang ia
identikan dengan non-situs pada perbedaan (difference). Hal ini dimaksudkan
untuk bagaimana kita menemukan jalan masuk pada “non-situs” yang betapapun rumitnya
Derrida berusaha mencari batas-batas lain yang bisa dimaknai dalam diskursus
filsafat yang terbantahkan oleh alur pemikiran Plato atau Austin yang lebih
meremehkan tulisan dan Kant yang lebih tertarik pada pembahasan mengenai
bingkai lukisan.
Derrida lebih memilih untuk menonjolkan kesastraan dan seni yang
menyediakan lorong-lorong yang berliku menuju “non-situs”. Misalkan Derrida
lebih tertarik pada nama asli dan tanda tangan dari pengarang setelah membaca
puisi prosaic Francis Ponge yang dijadikan dasar atau arah baginya dalam
menyalami sebuah karya sastra yang dapat menggambarkan sesuatu yang lain.
Alur pemikiran Derrida lebih menonjolkan suatu per-bedaan (difference)
dimana dapat dipahami dari dua tahap yakni pemahaman akan suatu tulisan sebagai
perbedaan dari tuturan karena proses memahami yang berlangsung secara bersamaan
dan pengelakan diri dari pemahaman yang utuh. Demikianlah bahw a bukan karena
kepadatan semantic dan beragamnya
sintaktik melainkan karena konseptual dan keterbatasan linguistik semata.
Konsep per-bedaan (differen) dan penundaan (deferal) menurut Derrida menyajikan
keharusan bagi dimungkinkannya sebuat
tulisan atau tuturan. Jadi perberdaan (differen) berlangsung pada pada taraf
fenomenal dan taraf transedental yang merupakan keharusan bagi dimungkinkannya
setiap komunikasi baik lisan maupun tertulis.
C.
SIMPULAN
Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan
kalimat negasi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik,
bukan suatu metode, bukan aksi
maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah
suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang
berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”. Dekonstruksi adalah
suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu
subjek, atau bahkan modernitas. Derrida
mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam pemikiran Heidegger. Kata
dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis
yang secara etimologis berarti
"untuk menunda"-sinonim dengan kata
men-dekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida,
yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti
halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang
berbeda untuk mempertahankan kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi
dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu
kata, alat, atau
teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi.
yosefhatininu.blogspot.com
yosefhatininu.blogspot.com