Selasa, 06 September 2011

MANUVER PANITIA KHUSUS PANSUS ANGKET BANK CENTURY



SATUAN Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) terlihat bergerak masuk ke sektor mafioso pajak. Lapas Narkotika, Cipinang, tempat Vincentius Amin menjalani hukuman atas tuduhan pencucian uang PT Asian Agri, bahkan sempat disafari oleh tim bentukan presiden itu. Mereka masuk dari dugaan praktik mafia hukum di balik sejumlah kejanggalan penjatuhan vonis terhadap Vincent. Ditenggarai, hal itu berhubungan dengan posisi Vincent sebagai whistle blower. Sejumlah dokumen yang sempat dibuka mengarah ke dugaan penggelapan pajak hingga Rp 1,3 triliun.
Banyak pihak menilai, itu adalah serangan balik terhadap manuver panitia khusus Pansus Angket Bank Century yang bergerak cepat dan nyaris mengancam eksistensi pemerintahan SBY. Namun, satgas membantah. Bahkan, mereka menyatakan bahwa para pengemplang pajak itu memang harus digertak. Seriuskah mereka? Atau, hanya sebatas ''gertak sambal''?
Pertanyaan dan syak wasangka tersebut mudah ditepis jika satgas berhasil mendorong penuntasan skandal pajak hingga ke jalur hukum. Dalam artian, ia tidak semata menjadi komodifikasi politik murahan atau semacam alat meningkatkan posisi tawar pemerintah kepada partai koalisi di pansus Century.
Dugaan penggelapan pajak Asian Agri, misalnya. Terutama karena kasus itu sudah diajukan penyidik Dirjen Pajak kepada Kejaksaan Agung April 2008 dengan tuduhan penggelapan pajak. Dan, akan lebih baik jika satgas juga berani mendorong penggunaan delik korupsi untuk memerangi mafia pajak.
Kerah Putih
Kejahatan pajak merupakan salah satu varian di antara kejahatan ''kerah putih'' (white-collar crimes). Ia memiliki kerumitan tersendiri. Karena itulah, pendekan konvensional yang hanya menggunakan regulasi perpajakan, tanpa melapisi dengan undang-undang tindak pidana korupsi, diperkirakan tidak akan berhasil.

Khusus polemik perpajakan di Asian Agri bermula dari informasi yang diberikan ke KPK oleh Vincentius, Dirjen pajak sebenarnya sudah memeriksa, menyita dokumen, hingga akhirnya menetapkan 12 tersangka. Perusahaan yang berada di bawah payung Grup Raja Garuda Mas (RGM) itu diduga melakukan pidana pajak pada 2002-2006. Hingga, pada pertengahan 2008 (25/4), Tim Pajak menyerahkan setumpuk alat bukti kepada Kejaksaan Agung. Harapannya, kejaksaan menuntaskan tugasnya menyeret pelaku ke tingkat penuntutan di pengadilan.
Sayang, hampir tiga tahun berselang informasi penanganan skandal pajak itu nyaris tenggelam. Kemudian, itu muncul kembali melalui sidak Satgas ke lapas Vincent. Karena itulah, Satgas seharusnya tidak hanya berbicara tentang praktik mafia hukum dalam proses peradilan Vincent, tetapi juga masuk lebih dalam ke jantung persoalan. Mungkin, mafia peradilan di balik penanganan kasus kasus Asian Agri jauh lebih penting.

Konstruksi Hukum
Kacamata paling sederhana yang perlu digunakan adalah pasal 39 ayat (1) butif (d) dan (f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Poin yang perlu dibuktikan adalah surat pemberitahuan Asian Agri tidak benar dan ada upaya pemalsuan dokumen.

Dengan logika bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara, manipulasi data surat pemberitahuan akan merugikan negara. Mafia pajak biasanya bermain di manipulasi data/pembukan agar tidak menyetorkan sejumlah biaya pajak kepada negara.
Ada lima modus utama yang bisa digunakan untuk membaca kasus tersebut. Pertama, transfer pricing. Pengertian yang sederhana adalah upaya mengalihkan penghasilan kena pajak dari suatu negara dengan tarif pajak tinggi (Indonesia) ke negara lain dengan tarif pajak rendah atau negara Tax Haven (Misalnya: Singapura, Hongkong, dan Swiss). Pemindahan tersebut dilakukan dengan cara penjualan perusahaan lintas negara, padahal perusahaan sebenarnya dimiliki atau dikuasasi orang yang sama.
Dalam modus tersebut, Indonesia sangat dirugikan karena pajak yang seharusnya diterima negara dilarikan ke negara-negara tax haven. Padahal, sumber daya yang digunakan, sampah yang dibuang, dan bahkan sarana dan prasarana yang digunakan berasal dari uang rakyat Indonesia.
Kedua, transaksi hedging fiktif. Tujuan yang sederha, perusahaan tercatat rugi sehingga tidak ada kewajiban membayar pajak. Penyiasatan seperti itulah yang dapat dibidik oleh tim pajak dan kejaksaan dimulai dari indikasi adanya upaya penipuan data keuangan.

Sama halnya dengan poin kedua, tiga modus lain adalah dugaan management fees yang fiktif, mark up pembelian aset, dan tambahan biaya fiktif lainnya. Tujuan dari tiga modus terakhir, agar seolah-olah perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya sehingga keuntungan/penghasilan menurun jauh. Konsekuensi logis sederhana dari ini bahwa jumlah pajak yang harus dibayarkan berkurang drastis.


Delik Korupsi
Adanya kerugian negara seperti disebutkan di atas menjadi dasar kasus manipulasi pajak dapat dijerat dengan korupsi. Karena itulah, ICW menyarankan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo 20/2001) untuk menjerat pihak yang diduga mafia pajak secara berlapis. Hal itu bertujuan nanti pelaku tidak dibebaskan di pengadilan karena berlindung di balik sejumlah kelemahan Undang-Undang Perpajakan. Sangat memungkinkan sebuah kasus pidana pajak dialihkan ke sekadar pertanggungjawaban administratif dan perdata.
Penegak hukum dapat menggunakan hasil rakernas Mahkamah Agung pada 2007 di Makasar, yang menyatakan bahwa sepanjang sebuah kejahatan atau bahkan pelanggaran administrasi memenuhi unsur UU Korupsi, maka ia bisa dijerat dengan delik korupsi. Setidaknya, unsur kerugian keuangan negara, melawan hukum, dan menguntungkan pihak lain diduga sangat mungkin terpenuhi dalam kasus Asian Agri tersebut.
Satgas sepatutnya secara serius menempatkan analisis hukum tindak pidana korupsi untuk membongkar skandal pajak. Baik untuk kasus Asian Agri maupun perkara lain yang merugikan keuangan negara secara signifikan. Kemudian, mengawal dan memastikan penggelapan pajak atau korupsi pajak diajukan ke persidangan. Setidaknya untuk membuktikan kepada publik bahwa Satgas tidak main-main. Satgas bukan sekadar ''dayang-dayang'' dan ''pentungan politik'' kekuasaan untuk membungkam kekuatan yang kritis terhadap pemerintah. Itulah indikator apakah Satgas patut dipercayai, atau sebaliknya disimpan di dalam laci.(*) disadur dari Jawa POS/ninu


Isu global warming (pemanasan global) merupakan hal yang paling hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Pemanasan global menjadi momok yang sangat menakutkan dunia. Terlepas dari benar tidaknya teori tersebut, yang pasti bahwa kita telah sama-sama merasakannya yaitu peningkatan suhu bumu yang oleh sebagian ahli dikaitkan dengan green house effect (efek  rumah kaca). Belum lagi ditambah masalah  polusi dan penumpukan sampah plastik yang seolah membentuk deretan pulau-pulau baru diatas pulau yang kita huni ini. Secara klimotologis, iklim sekarang tak lagi dapat diprediksi dengan benar. Simak saja ramalan cuaca yang yang dipampang berbagai media, hampir sudah tidak ada benarnya lagi.
Sejenak dunia disibukkan dengan bencana yang terus menyapu tanpa koma, alam semakin menunjukkan keperkasaannya, seolah manusia adalah musuh yang harus dibasmi tanpa ampun. Bencana demi bencana gadir dengan segala variasi jenisnya, besar kecil skalanya maupun keragaman sebaran lokasinya, tak perlu disebutkan lagi hamper semua pulau di Nusantara ini telah merasakan betapa perkasanya alam ini yang seolah tak tertandingi lagi dengan ganasnya merenggut nyawa manusia. Lalu siapakah yang harus divonis bersalah akibat amukan bumi kita tercinta yang merupakan satu-satunya planet biru hunian manusia?.
Sesungguhnya bahwa penulis tidak sedang mengurai para pembaca yang budiman. Penulis hanya mencoba mentransfer semua realita yang terjadi kedalam sebuah opini yang mungkin memberikan sedikit manfaat bagi kita sekalian. Beberapa faktor yang dapat penulis simpulkan sebagai penyebab atas uraian terdahulu adalah :
1.      Peningkatan emisi Co2,
2.      Penebangan dan pembakaran hutan secara liar,
3.      Penumpukan sampah baik itu plastik maupun kertas dan
4.      Penambangan yang semakin marak dilakukan.
Sesungguhnya penyebab utama pemanasan global adalah peningkatan amisi Co2 diudara. Gas tersebut merupakan hasil dari pembakaran semua komponen organic yang ada dibumi ini. Peningkatan emisi ini tak bias dipungkiri bahwasannya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk didunia yang dibarengi dengan peningkatan jumlah industry, alat transportasi, PLTD, dll. Secara lokal bahwa gas Co2 menyebabkan global gas tersebut merupakan penyebab utama terjadinya polusi udara, namun efek rumah kaca dan penipisan lapisan ozon. Bayangkan saja jika jumlah kendaraan bermotor dikota Kupang mencapai angka 1000 maka barapakah emisi karbondioksida setiap tahunnya.
Plastic yang kita gunakan untuk keperluan sehari-hari seperti kantong belanja dan segala macam perabotan rumah tangga sesungguhnya berasal dari minyak bumi. Plastik tersebut merupakan jenis bahan yang tidak dapat terurai oleh mikroorganisme, disisi lain kebutuhan dunia akan plastik kian hari kian meningkat. Dengan demikian tidak mengherankan jika dibiarkan saja tanpa pengolahan kembali maka akan terjadi penumpukan plastik dilingkungan bahkan menjadi penyebab terjadinya banjir.
Jika fenomena ini terus terjadi maka penulis bisa memastikan bahwa kota Kupang hanya tinggal menunggu gilirannya untuk menjadi langganan banjir tahunan seperti yang terjadi di Jakarta. Salah satu cara untuk mengeliminasi sampah plastik yang umumnya dilakukan masyarakat adalah dengan membakarnya. Cara ini cukup ampuh karena akan mengurangi jumlahnya, namun sadarkah kita bahwa pembakaran tersebut menghasilkan berbagai macam gas seperti Co dan Co2 yang merupakan penyebab utama global warming.

Dengan kaca mata dunia bagaimana mengatasi global warming seolah sangat sulit terbayangkan. Namun tidaklah demikian jika dipandang dalam skala lokal. Bukankah globalnya sebuah masalah yang ditimbulkan juga karena kontribusi dari kondisi lokal?. Penulis ingin mengemukakan sebuah alasan atas uraian-uraian sebelumnya bahwa hampir semua penyebab terjadinya global warming menunjukkan ketergantungan kita pada minyak bumi yang sangat besar. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah movasi untuk menghasilkan alternatif. Energi baru ini selain harus mampu menggunakan bahan lokal yang tersedia juga harus mempertimbangkan aspek sustainable dari bahan bakar baru tersebut. Dengan cara tersebut maka secara tidak langsung kita tetap mempertahankan kesetimbangan antara Co2 dan O2 yang ada diudara.
Bukankah alam diciptakan dengan bermacam-macam sumber dalam alam yang dapat diperbaharui. Katakanlah untuk menggantikan minyak bumi sebagai sumber utama bahan bakar solar, bensin, dan minyak tanah telah ditemukan bahan bakar.
Lalu apakah kendala pengembangannya?.
Apakah NTT kekurangan bahan bakarnya?.
Masih banyak potensi alam NTT yang tak dapat penulis sebutkan satu demi satu yang menanti untuk dikembangkan. Potensi inilah yang harusnya digunakan untuk meningkatkan lapangan kerja sekaligus perekonomian masyarakat. Semuanya itu seharusnya dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan kita pada minyak bumi dari pada terus menerus berkutat pada pembuatan regulasi penambangan.