Jumat, 04 November 2011

RITUS ADAT PERKAWINAN ANTAR SUKU DI KABUPATEN TTU (SUKU NINU DAN NINO)


 A. Pendahuluan
Manusia adalah makluk rasional yang berbeda dengan makluk hidup lainnya secara eksistensial dan secara rasional. Yang membedakannya adalah kebudayaan. Kebudayaan merupakan ruang lingkup dimana manusia hidup dan berkatifitas sehingga tercermin berbagai fenomena dan realitas yang mengandung makna dan nilai. Di dalam kebudayaan itulah nampak ciri khas ekstensial dan esensial dari manusia itu saat dilahirkan, dibentuk dan dibesarkan dalam ruang dan waktu yang di atur menurut tata cara, pola dan norma tertentu.
Rasionalitas manusia melebihi makluk hidup lainnya yang menunjukan ciri ekstensial dan esensial yang oleh Santo Agustinus (Dalam Hoebel, 1958 : 1) menunjukan keajaiban manusia. “Bahwa di dunia banyak keajaiban tetapi tidak ada yang lebih ajaib dari manusia. Keajaiban manusia melebihi gelombang laut, air yang sedang mengalir dan langit yang luar biasa”. Keajaibannya bukan terletak pada ketangkasan tubuh, kemolekan tubuh, tetapi pada cara berpikir, menemukan dan menciptakan cara-cara baru dalam hidupnya. Dari kemampuan itulah manusia menciptakan, memlihara dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun. Di tulis oleh Yosef hati Ninu
Relasi antar manusia dan kebudayaan digambarkan seperti mata uang dengan kedua sisinya. Dimana terjalin satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jadi manusia sebagai pendukung tumbuh dan berkembangnnya kebudayaan. Sebaliknya kebudayaan mencerminkan identitas dan integritas manusia sebagai suatu masyarakat, suku atau bangsa.
Eksistensi manusia berbentuk wujud kebudayaan berupa tradisi yang merupakan suatu keberlangsungan proses dalam ruang dan waktu yang terjadi melalui dua mekanisme yang mempunyai hubungan sebab akibat. Ada mekanisme fisik dan ada mekanisme material, berupa benda-benda aterfak dan tatanan yang dihasilkan dan diwariskan oleh generasi terdahulu, ada pula mekanisme psikologi dan ada mekanisme ideal berupa warisan keyakinan, pengetahuan, simbol, norma dan nilai dari masa lampau itu. (Silab W, 2005 : 5).
Kedua  mekanisme diatas menunjukan dunia kehidupan manusia sebagai suatu dunia kebudayaan atau dunia penuh simbol dan makna. Dunia yang di dalamnya manusia berpredikat sebagai animal simbolicum (Ernst Cassirer, dalam Poepowardojo, Bertens 1982 : 11) artinya dalam dunia itu kita dapat melihat dan menemukan gambaran tentang identitas manusia yang berwujud kebudayaan yang terjadi secara dinamis.
Pulau Timor sebagai pulau terbesar di Propinsi Nusa Tenggara Timur sudah terkenal ke selur penjuru dunia karena kayu cendana putih (Santalum Album L)nya yang berkualitas tinggi. Salah satu komoditas dagang yang sangat bermanfaat dan khasiatnya mengundang minat para pedangang kuno dari berbagai bangsa untuk datang ke Nusantara ini terkecuali Pulau Timor. Berbarengan dengan kedatanga bangsa Portugis ada sekelompok pedangang yang menyebut dirinya topases (Portigis Hitam) dalam sebutan orang timor : Atoin Kaes Metan, yang merupakan suatu kelompok etnis keturunan  campuran (mixed desent) yang datang ke Pulau Timor selain berdagang  kayu cendana dan komoditas lainnya, juga menyebarkan Agama Kristen Katolik dikalangan penduduk asli yang masih kafir dan animisme. (Silab W, 2005 : 7)
Tradisi keagamaan yang diciptakan portugis hitam dengan dilandasi dengan iman Katolik selama beberapa ratus tahun telah menjadi pandangan hidup (way of life). Tradisi ini tidak hanya menciptakan dunia baru sebagai suatu realitas antologs tetapi juga suatu realitas kosmologis yang teratur dan bermakna di dalamnya terkandung nilai dan makna yang mengatur perilaku dari masyarakat Kaesmetan, Yang akhirnya menjadi suatu identitas budaya Atoin Kaemetan di Noemuti. Namun sebagaimana dikatakan di atas  bahwa kehidupan masyarakat tidaklah statis tetapi dinamis yang selalu mengalami gejolak perubahan. Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat. Namun perubahan disini bukan berarti perubahan yang cepat atau (progress) tetapi juga bisa berupa kemunduran pada beberapa bidang tertentu (Soekanto, 1998 : 335) 
Tulisan ini mencoba mengangkat budaya Atoin Kaes Metan dalam hal perkawinan (Ritus Hela Keta pada Suku Ninu pada Kefetoran Manikin dengan suku Nino yang berasal dari Kefetoran di Tumbaba) sebagai media komunikasi antar budaya. 
B. Kisah atau Cerita
Adat istiadat merupakan aturan-aturan yang mengatur berberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha-usaha orang-orang di dalam masyarakat itu sendiri untuk mengatur tentang tata tertib, tingkah laku, tutur kata anggota masyarakat, (Pringodigdo, 1797 ; 14). Tentang adat istiadat ini sebagai pedoman tertinggi dari hidup manusia, (Koendjaraningrat, 1990 ; 186-187)
Adat istiadat menurut orang timor dipandang dari segi etimologis, pranata sosial dan kebiasaan masyarakat Noemuti yang lebih dikenal dengan sebutan Atoin Kaemetan.
1.       Adat Istiadat / Nono
Secara etimologis Nono berarti tali hutan. Secara realis Nono direpresentasikan dengan sebuah batu ceper dililit dengan sebuah tali hutan yang diletakan di kaki tiang agung rumah adat atau lumbung suku atau marga (kanaf) ninu dan juga barang-barang lain yang disimpan bersama dengan dengan batu itu yang dianggap keramat/ memiliki kekuatan tertentu. Tanda ini merupakan simbol kesatua seluruh anggota suku marga (Kanaf) yang mengatur tentang pola dalam perilaku terutama tentang fase kelahiran, perkawinan, kematian. Hal inilah yang disebut dengan nono/norma, dan bila ada pelanggaran terhadapnya maka ada sanksi yang tergolong berat (opte ma’fena)
2.       Adat istiadat meliputi pranata kekerabatan dan pranata religius
Sebagai norma adat (nono) ini tergolong kedalam norma yang lebih tinggi yaitu mores (norma moral) norma keagamaan (norma religius) kedua hal ini ditandai dengan upacara adat kelahiran dengan tahap-tahapnya. Upacara  perkawinan dengan tahap-tahapnya
Bila terjadi pelanggaran harus segera dilakukan ritus pemulihan agar tidak terkena sanksi yang acap kali diluar kemampuan manusia yang harus ditaati setiap warga suku/marga pada saat memasuki tahap tertentu.
1.       Tata cara (folkways)
Berupa kebiasaan-kebiasaan (habits) demi menjaga sopan santus, saling menghormati, dalam hidup bermasyarakat. Folkways adalah kelasiman-kelasiman yang meliputi adat istiadat yang telah mejadi kebiasaan.
Atas dasar pemikiran diatas, pada masyarakat Atoin Kaesmetan khususnya dalam Kefetoran Manikin lebih khusus Suku Ninu memiliki tradisi Hela Keta pada perkawinan campuran antar suku.
Hela Keta berasal dari bahasa dawan yang terdiri dari dua suku kata yaitu ‘Hela’ dan ‘Keta’ Hela atinya menarik dan keta artinya lidi jadi secra harafia Hela Keta berarti upacara menarik Lidi. Dalam hal ini lidi dipandang sebagai pembatas atau pemisah antara kedua suku. Dalam konteks perkawinan antara dua suku yang berbeda yakni antara suku Ninu dari Kefetoran Manikin dan suku Nino dari Kefetoran Tumbaba.
Menurut informasi yang diperoleh  dari Bapak Fransiskus Ninu (salah seorang toko adat, usif pada kefetoran Manikin) yang mengatakan bahwa Hela Keta merupakan satu simbol atau bentuk pemulihan sumpah adat yang dilakukan oleh nenek moyang baik itu dari Suku Ninu Kefetoran Manikin maupun Suku Nino dari Kefetoran Tumbaba. Sumpah adat dalam bentuk apa yang terjadi pada pranata kekerabatan kedua suku, menurut beliau tidak ada kepastian. Hela Keta ini dilakukan sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kehidupan sosial dan budaya dimasa mendatang. Hal ini terdegar seperti mitos yang merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orintasi sipritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi.
 
Bagi masyarakat yang berasal dari Suku Ninu pada Kefetoran Manikin, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini merupakan milik mereka yang berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh model bagi mereka dalam bertindak, yang memberi makna dan nilai bagi kehidupan mereka.
Jadi Hela Keta ini bagi Suku Ninu dan Suku Nino merupakan media yang diciptakan untuk perdamaian, keharmonisan diantara kedua mempelai yang akan berumah tangga. Kisah dan cerita yang digambarkan disini selain melalui hasil wawancara juga melalui pengamatan secara langsung pada upacara perkawinan hela keta yang dilakukan, antara salah seorang anggota Suku Ninu (Permempuan) Kefetoran Manikin dan salah seorang anggota Suku Nino (Laki-Laki) dari Kefetoran Tumbaba.

C. Ritus
Ritus merupakan wujud konkret dari kehidupan beragama. Agar dunia menjadi tempat yang at home, Ritus perlu dilakukan. Melalui ritus manusia menghubungkan  diri dengan Ilahi. Dalam ritus manusia mengaktualisasikan kehadiran yang Ilahi. Dengan ritus manusia seakan-akan mendesak yang ilahi agar ia pun mau memperhatikan kehidupannya.
Namun manusia tidak hanya tahu mendesakan keinginannya. Dia juga dapat berhenti berlutut sejenak juga diahdapan yang ilahi. Dalam hal ini manusia harus mengambil sikap tertentu demi keselarasan hubungannya dengan yang ilahi. Maka dari sini kita bisa membedakan ritus kedalam 2 macam yakni ritus penyucian (purification) dan ritus korban (sacrifice) (Hans J. Daeng, 2000 : 82).
Motif utama dari tindakan penyucian atau purifikasi bukanlah pembebasan diri dari kotoran atau noda fisik, melainkan pelepasan diri dari yang jahat dan masuk kedalam dimensi yang baik. Kadang kala kekuatan hidup memang menyusut, hidup kadang memucat dan kehilangan kesegaran semuannya ini dikaui sebagai kekuatan jahat atas kehidupan manusia.
 
Maka kelemahan ini jangan dibiarkan melainkan harus dicega dengan dindakan kebersihan atau penyucian agar menjadi baru.
Ritus dan motif yang dilakukan pada uacara perkawinan antara suku ninu pada kefetoran maniki dan suku nino pada kefetoran manikin secara harafia dapat digambarkan sebagai berikut :
a.       Kesepakatan
Pada sistem perkawinan yang lazim dilakukan di Wilayah Timor terutama TTU, dilalui dari beberapa tahapan hingga sampai pada tahap hela keta. Pada tahap hela keta ini pun tahapan yang di lalui terlebih dahulu adalah kesepakatan. Kesepakan dimaksud adalah mengenai menyamakan persepsi tentang makna di balik hela keta, mencari tahu tentang sumpa adat dalam pranata apa yang dilakukan oleh nenek moyang kedua suku, hewan kurban apa yang pantas digunakan sebagai simbol, tempat Hela Keta, tata cara hela keta itu sendiri mulai
b.       Tempat
Tempat Hela Keta ini sungai atau kali (nono) dengan air yang mengalir merupakan media atau tempat yang biasa digunakan. Menurut Bapak Fransiskus Ninu, sungai/kali dengan air yang mengalir mengandung makna bahwa sungai merupakan pembatas atau pemisah antara hubungan kekerabatan kedua suku selain itu sungai merupakan media penghubung dan ketika airnya mengalir, akan membawa sumpah adat yang telah ada sejak dahulu
c.        Pihak yang terlibat
Pihak pihak yang terlibat dalam upacara adat hela keta ini adalah orang tua (aina ama) dari kedua pasangan suami istri sebagi pendamping. Paman (atoi amaf) dari kedua keluarga sebagai pelindung dan penasehat, dua orang juru bicara dari kedua suku, serta keluarga besar dari kedua suku tersebut.


 
a.       Pelaksanaan
Setelah waktunya, kedua suku dari keluarga pasangan suami istri bertemu ditempat yang telah ditentukan yakni sungai/kali, maka kedua bela pihak berada pada sisi sungai dan pihak laki-laki tidak boleh menyentuh air sebelum upacara dilakukan. Untuk melangsungkan upacara tersebut maka media yang akan digunakan sudah dipersiakan. Media tersebut adalah tempat siri (kabi) isinya siri (manus), pinang (puah), kapur siri (ao),uang perak (loet fatu), sopi kampung (tua meto), babi/ayam (manu/fafi), lidi (keta)
Makna dari pada simbol-simbol yang digunakan tersebut adalah
1.       Sungai
Merupakan simbol pembatas dari kedua suku
2.       Lidi
Merupakan simbol pembatas, parang dan tombak yang lasim digunakan untuk berperang.
3.       Sopi dan tempat siri
Merupakan simbol perdamaian dan kebersamaan
4.       Hewan kurban
Menurut keyakinan kedua suku hewan kurban merupakan sesuatu yang panas (darah dan daging)

Setelah semua media itu disiapkan maka, dilanjutkan dengan preoses dari pada Hela Keta yakni :
1.       Tutur adat (natoni)
Tutur adat dilakukan dengan cara :
a.       Pihak perempuan melalui juru bicara menayakan maksud dari pihak laki-laki dengan bahasa adat

 
1.       Pelepasan lidi (nahoeb keta)
Sebelum melakukan pelepasan lidi (keta) salah satu pihak menyampaikan kepada nenek moyang dan penguasa alam semesta bahwa pada hari itu pula telah di akhiri sumpah adat yang telah terjadi sejak dahulu sehingga kehidupan keluarga dari kedua pasangan suami istri kedepan berjalan dengan baik dan kedua lidi tersebut dilepaskan kedalam aliran sungai sebagai tanda bahwa air yang mengalir telah membawa masalah tersebut
2.       Jabat tangan (makan siri bersama)
setelah dilakukan pelepasan kedua siri dilanjutkan dengan saling jabat tangan antara kedua bela pihak terutama laki-laki dan perempuan, dan saling melayani untuk memakan sirih yang digunakan dalam upacara tersebut.
3.       Penyembelian hewan kurban
Penyembelian hewan kurban merupakan proses terakhir dari rangkaian upacara adat tersebut. Akan tetapi sebelum melanjutkan perjalanan pulang maka, semua daging dari hasil penyembelian hewan tersebut harus dimakan samapi habis dan tidak boleh ada yang tersisa/ biasanyan disebut (tah tabua) makan bersama.

D. Makna
Makna yang dipetik dari upacara hela keta pada perkawinan antara Suku Ninu (Kefetoran Maniki) dan Suku Nino (Kefetoran Tumbab) yang dilaksanakan sebagai bentuk penyucian pelepasan sumpah adat yang dilakukan sejak dahulu oleh nenek moyang kedua suku tersebut. Upacara ini merupakan sebuah simbol dan mitos yang oleh (J. Van Baal, dalam Daeng J. Hans 2000 : 81) “cerita didalam kerangka sistem suatu religi yang dimasa lalu atau kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan”. Melalui mitos dan simbol itulah manusia berusaha berorientasi dalam kehidupan ini; ia tahu ia datang dan kemana ia pergi; asal usul dan tujuan hidupnya dibeberkan dalam mitos dan simbol tersebut.

 
Motif utama dari tindakan penyucian atau purifikasi bukanlah pembebasan diri dari kotoran atau noda fisik, melainkan pelepasan diri dari yang jahat dan masuk kedalam dimensi yang baik. Kadang kala kekuatan hidup memang menyusut, hidup kadang memucat dan kehilangan kesegaran semuannya ini dikaui sebagai kekuatan jahat atas kehidupan manusia. Maka kelemahan ini jangan dibiarkan melainkan harus dicega dengan dindakan kebersihan atau penyucian agar menjadi baru. Dan menurut pandangan Syukur Dister, dalam Daeng J. Hans 2000 : 81) hal ini merupakan pedoman dan arah kepada sekelompok orang yang berintikan lambang,  yang mengantarkan manusia dan daya-daya kekuatan alam.




 

Kode Widget atau tulisan anda ada di sebelah kiri disini
Kode Widget atau tulisan anda ada di sebelah kanan disini